Demo Serikat Pekerja Pariwisata, Ini Tanggapan Pemprov Jabar
Bandung: Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat memberikan reaksi terkait aksi demonstrasi Serikat Pekerja Pariwisata yang menuntut pencabutan larangan study tour sekolah.
Aksi yang bahkan sempat memblokade jalan di jalan layang Pasoepati itu berlangsung Senin, (21/7/2025.
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman mengatakan, pihaknya sangat menghargai aspirasi yang disampaikan oleh Serikat Pekerja Pariwisata itu. Ia memastikan aspirasi yang disampaikan dikaji dan didalami dengan cermat.
“Yang pertama, kami menghargai penyampaian aspirasi itu, tentu kami dalami dengan cermat, karena setiap warga negara punya hak untuk menyampaikan aspirasi, saran, kritik, nggak ada persoalan,” kata Herman saat dikonfirmasi di Bappeda Jawa Barat, Jalan Ir H Juanda Dago Bandung, Jawa Barat pada Selasa (22/7/2025) sore.
Namun, ia belum bisa memastikan apakah pihaknya bisa mengabulkan tuntutan Serikat Pekerja Pariwisata untuk mencabut larangan study tour. Mengingat, kebijakan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa dan diresmikan melalui surat edaran gubernur dengan mempertimbangkan berbagai hal.
Khususnya mempertimbangkan kondisi ekonomi orangtua siswa yang notabene berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah. “Karena kita ketahui apabila study tour yang berdampak terhadap pembiayaan, ujungnya kan itu memberatkan orang tua, terutama orang tua menengah ke bawah, ujungnya adalah minjem ke bank emok, ujungnya minjem ke pinjol yang ilegal, dan dampaknya kan dahsyat itu,” ungkap Herman.
Adanya study tour di sekolah juga dinilai menjadi beban bagi orang tua siswa yang tidak mampu. Apalagi jika kegiatan tersebut terkesan memaksa dan menuntut siswa untuk ikut dengan dalih berpengaruh terhadap nilai akademik.
Hal itu menjadi efek domino terhadap ekonomi orang tua siswa. Mereka akhirnya memaksakan diri untuk mencari uang di tengah ketidakmampuan ekonomi yang dialami agar anaknya bisa ikut study tour yang diadakan oleh sekolah.
Di tengah kondisi tersebut para orang tua akhirnya mencari jalan cepat dengan meminjam uang kepada rentenir dan bank keliling yang akhirnya membuat ekonomi keluarga semakin terpuruk.
“Bisa memporak porandakan perekonomian keluarga, bahkan bisa sampai memporak porandakan keluarga. Tidak sedikit keluarga yang sampai di korbankan rumah tangganya, yang titik masuknya dari pinjol, dari bank emok, dan tidak sedikit juga yang tidak semua, tapi tidak sedikit yang dipantik oleh orang tua yang memaksakan diri untuk membiayai anaknya study tour,” beber Herman.
Terlebih, jika study tour tersebut dilakukan ke luar kota maupun ke luar provinsi yang akan membuat biaya pengeluaran lebih besar dan lebih mahal. “Jadi yang dimaksud adalah study tour yang berdampak terhadap pembiayaan yang di luar batas kemampuan orang tua, apalagi sampai ke luar jawa barat. Itu kan bisa jutaan bahkan ada yang sampai 6 juta, ya kan dan anak-anak ini kan jumlahnya banyak, dibalik anak-anak kan ada keluarga,” cetus dia.
Kondisi ekonomi yang terpuruk dan diperparah dengan tekanan biaya study tour yang mahal akhirnya dinilai membuat keluarga tidak harmonis. Hal itu bakal mempengaruhi proses belajar siswa di sekolah, termasuk mempengaruhi kondisi psikologis siswa selama di rumah dimana seharusnya anak mendapat pendidikan secara sosial dari orangtuanya selama di rumah.
“Jadi jangankan bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran, ya kalau terganggu ekonomi keluarganya kan jadi paciweuh dan itu dampaknya ke anak-anak. Kalau keluarganya tidak harmonis, bagaimana mungkin anak-anak mendapatkan kasih sayang dan sebagainya. Jadi tidak sesederhana yang dibayangkan,” papar Herman.(*)