Scroll untuk melanjutkan membaca

Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut

 Subang : Informasi BMKG, terkait peringatan dini gelombang tinggi di wilayah perairan pantai utara laut Jawa (Pantura) Subang yang berpotensi terjadi ketinggian gelombang, perlu diwaspadai oleh para pengguna perairan atau para nelayan. Selain ketinggian gelombang, juga kecepatan angin berkisar 10 - 30 knot, yang bisa membahayakan para nelayan. 

Cuaca buruk, para nelayan di Pantura Subang terpaksa berhenti melaut
Cuaca buruk, para nelayan di Pantura Subang terpaksa berhenti melaut

Terkait peringatan yang dikeluarkan BMKG tersebut, menurut Ketua DPC Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KTNI) Kabupaten Subang Ali Khaerudin, untuk sementara ini, para nelyan di pantai utara laut Jawa (Pantura) Subang, menyandarkan perahunya di tepi pantai. Guna menghindari hal buruk yang akan menimpa para nelayan, akibat ketinggian gelombang dan kecepatan angin, yang dapat mengancam keselamatan para nelayan.

"Dengan kondisi cuaca buruk tersebut, mengakibatkan penurunan hasil tangkap ikan para nelayan. Jika para nelayan memaksakan melaut, hasilnya tidak maksimal, karena cuaca buruk di laut pun, akan membahayakan keselamatan para nelayan kita," ungkap Ali kepada RRI di Subang, Senin (24/11/2205). 

Setiap musim penghujan seperti sekarang ini, yang tidak menentu, lanjut Ketua KNTI Kabupaten Subang, dengan angin yang besar menjadi kendala besar bagi para nelayan, yang menggunakan perahu-perahu kecil, dengan ukuran 15 atau 10 groston keatas itu, cukup besar memakan biaya BBM-nya, sehingga tidak berimbang antara pengeluaran dengan penghasilan para nelayan. Kecuali hanya turun hujan biasa, itu tidak menjadi kendala bagi para nelayan. 

"Biaya satu kali melaut, para tak hanya cukup membawa perbekalan BBM saja, tetapi seperti es, dan biaya makan sehari-hari pun, di bawa oleh para nelayan selama melaut. Tetapi dengan cuaca yang tidak menentu seperti saat ini, tentunya menjadi kendala bagi para nelayan. Apalagi terjadi tambeng, atau angin besar di laut, yang membuat para nelayan kesulitan, karena para nelayan tradisional itu, tidK menggunakan alat pemantau cuaca," terangnya. 

Kelemahan para nelayan tradisional ini, kata dia, tidak memiliki radar, yang bisa menemukan keberadaan ikan, termasuk mendeteksi cuaca, sehingga berdampak terhadap tingginya resiko biaya tinggi, yang tak hanya BBM, tetapi juga perbekalan lainnya, atau logistik selama melaut. Terlebih di saat cuaca hujan, ikan-ikan itu tak lagi bergerombol, karena ikan akan lari takut oleh hujan. 

"Biasanya ikan-ikan itu bergerombol. Tetapi ketika hujan turun, ikan-ikan itu pada lari, sehingga mengakibatkan hasil tangkapan para melayani, mengalami kemerosotan yang cukup signifikan," papar Ali. 

Penurunan hasil tangkap para nelayan tradisional, disebutkan ia, terjadi sejak Oktober 2025 lalu, mengalami penurunan sekitar 70 persen. Penurunan hasil tangkatap itu, terjadi di KUD Mina Fajar Sidik, dan KUD Mina Bahari Blanakan, yang merupakan KUD nelayan terbesar di Kabupaten Subang. 

"Secara umum, penurunan ikan hasil tangkapan itu, terjadi di dua KUD nelayan terbesar di Kabupaten Subang, yaitu KUD Mina Fajar Sidik, dan KUD Mina Bahari Blanakan. Karena di kedua KUD tersebut, paling banyak memberangkatkan nelayan untuk melaut, tapi karena cuaca buruk itu, hanya sedikit nelayan yang berangkat melaut," pungkasnya.(*)
Baca Juga

Berita YouTube

Berita Terbaru
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
  • Cuaca Buruk, Nelayan di Subang Terpaksa Berhenti Melaut
Tutup Iklan