Karawang : Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Malaysia akhir pekan ini untuk menghadiri KTT ASEAN menjadi perhatian publik, sekaligus menempatkan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam ujian diplomasi yang krusial.(24/10/25).
Kedatangan Trump, yang dikenal karena sikap skeptisnya terhadap multilateralisme, merupakan sebuah 'kudeta diplomatik' bagi PM Anwar.
Presiden AS jarang mengunjungi Malaysia, negara yang secara tradisional menganut kebijakan non-blok di tengah persaingan kekuatan global.
Trump menjadi Presiden AS ketiga yang berkunjung, setelah Lyndon B Johnson dan Barack Obama.
Jalan Tipis di Tengah Badai Rivalitas
Kunjungan ini secara simbolis menyoroti upaya penyeimbangan yang rumit oleh pemerintahan Anwar dalam menavigasi rivalitas yang memanas antara AS dan Tiongkok.
Malaysia memiliki keterkaitan ekonomi yang mendalam dengan kedua negara adidaya tersebut.
Pada tahun 2024, AS adalah investor asing utama dan mitra dagang terbesar ketiga Malaysia, dengan jejak besar di sektor teknologi dan minyak & gas.
Sementara itu, Tiongkok menempati posisi puncak sebagai mitra dagang terbesar dan investor terbesar ketiga, sebagai pembeli utama elektronik dan minyak sawit Malaysia.
Namun, upaya Kuala Lumpur untuk berjalan di 'jalan tipis' antara Washington dan Beijing semakin tertekan.
Thomas Daniel, seorang analis di Institute of Strategic & International Studies di Kuala Lumpur, menekankan pentingnya posisi ini. "Idealnya, Malaysia ingin terlibat secara produktif dengan Tiongkok dan AS dalam berbagai isu," kata Daniel kepada Al Jazeera. "Ini demi kepentingan kita."
Mendulang Manfaat dan Menjaga Otonomi
PM Anwar menjadikan kunjungan Trump sebagai peluang untuk memperkuat hubungan ekonomi, memajukan perdamaian dan stabilitas regional, serta mengangkat posisi ASEAN di panggung internasional.
Ia juga berjanji akan menggunakan kesempatan tatap muka ini untuk secara konstruktif mengangkat perbedaan, khususnya mengenai isu Palestina.
"Garis intinya adalah otonomi: hindari keterikatan, maksimalkan pilihan, dan tarik manfaat dari kedua kutub tanpa menjadi proksi siapa pun," ujar Awang Azman Awang Pawi, seorang profesor di University of Malaya, kepada Al Jazeera.
Isu-isu seperti tarif AS sebesar 19 persen terhadap Malaysia dan potensi kontrol ekspor Tiongkok pada rare earths diperkirakan menjadi agenda utama.
Mohd Ramlan Mohd Arshad, dosen senior di Universiti Teknologi MARA, menegaskan prioritas Malaysia adalah menjaga perdagangan 'berdasarkan aturan' yang memungkinkan pendalaman hubungan ekonomi terlepas dari perbedaan politik.
Perang dingin ekonomi yang berkepanjangan antara AS dan Tiongkok adalah "hal terburuk" yang dapat terjadi pada Malaysia, tambahnya kepada Al Jazeera.
Tantangan Domestik: Gaza dan Kritik Mahathir
Selain tantangan internasional, Anwar juga menghadapi pertimbangan politik domestik. Dukungan AS terhadap perang di Gaza menjadi sumber perselisihan di Malaysia yang mayoritas Muslim, di mana nasib Palestina memicu protes publik.
Mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang kini menjadi seteru Anwar, secara terbuka menuntut pencabutan undangan untuk Trump. "Orang seperti Trump, tidak peduli seberapa kuat, seharusnya tidak disambut di Malaysia," kata Mahathir dalam pesan video bulan lalu.
Anwar membela keputusannya dengan menekankan diplomasi sebagai "kerja praktis" untuk memajukan kepentingan negara "di dunia yang tidak sempurna."
"Ini menuntut keseimbangan, disiplin, dan keberanian untuk tetap bertahan meskipun pijakan di bawah kita bergeser," katanya dalam sebuah konferensi di Kuala Lumpur awal bulan ini.
Sharifah Munirah Alatas, seorang peneliti independen dan mantan pengajar hubungan internasional di Universiti Kebangsaan Malaysia, menyimpulkan bahwa sebagai kekuatan kecil, pragmatisme selalu menjadi pusat kebijakan luar negeri Malaysia. "Anwar dan Malaysia tidak mampu untuk berbuat sebaliknya," katanya kepada Al Jazeera.
Keberhasilan KTT ini, menurut Awang Azman, bukan hanya photo op (sekadar pengambilan gambar), melainkan pada hasil nyata seperti potensi kesepakatan damai Thailand-Kamboja dan bahasa perdagangan yang konkret.
"Jika salah satu jalur macet, kunjungan itu masih penting secara simbolis, mengingat jarangnya perjalanan presiden AS ke Malaysia – tetapi narasi akan kembali ke tampilan daripada hasil," pungkasnya.(*)

.jpeg)