![]() |
| Foto : Reruntuhan Akibat Pasukan Israel kembali melancarkan serangan dahsyat di Jalur Gaza sejak Selasa(28/10) malam hingga Rabu(29/10) , |
Israel kembali melancarkan serangan dahsyat di Jalur Gaza sejak Selasa(28/10) malam hingga Rabu(29/10) , menewaskan sedikitnya 104 warga Palestina, termasuk 46 anak-anak dan 20 perempuan, dalam tantangan terberat terhadap kesepakatan damai yang semakin rapuh.
Serangan, yang merupakan salah satu yang paling berdarah dalam dua tahun terakhir, membuat rumah sakit di Gaza dipenuhi korban.
"Ini adalah pembantaian," ujar Haneen Mteir, yang kehilangan saudara perempuan dan keponakannya, saat menghadiri pemakaman di luar rumah sakit Nasser. "Mereka membakar anak-anak saat mereka tertidur," katanya kepada Associated Press, sebuah kutipan yang menggambarkan kengerian di lapangan.
Israel mengklaim serangan itu menargetkan "infrastruktur militer" dan gudang senjata untuk serangan mendesak di Beit Lahia. Pihak militer Israel merilis data yang menyebut 25 korban tewas adalah "teroris," namun tidak memberikan penjelasan mengenai identitas 79 korban jiwa lainnya.
Pelanggaran Mencekam dan Keraguan Kepatuhan Israel
Meskipun pejabat AS bersikeras gencatan senjata masih berlaku dan Israel menyatakan kembali mematuhinya setelah serangan, serangan lanjutan pada hari Rabu yang menewaskan dua orang lagi telah menimbulkan keraguan besar atas komitmen Israel terhadap perjanjian yang mewajibkan kedua pihak menghentikan serangan.
Juru Bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Bassal, menggambarkan situasi di Gaza sebagai "bencana dan mengerikan," menegaskan bahwa serangan Israel yang menyasar tenda pengungsi, rumah, dan sekitar rumah sakit adalah "pelanggaran yang jelas dan mencolok terhadap perjanjian gencatan senjata."
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Oren Marmorstein, menyalahkan Hamas atas tingginya angka kematian, menuduh kelompok tersebut menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia. Hamas membalas, menyatakan serangan Israel "mengungkapkan niat Israel untuk merusak gencatan senjata dan memaksakan realitas baru dengan kekerasan."
Pelucutan Senjata Hamas
Di tengah ketegangan mematikan ini, tujuan utama Israel untuk mengakhiri perang dua tahun ini adalah pelucutan senjata Hamas.
Israel menjadikan pelucutan senjata sebagai syarat utama dan sentral bagi tercapainya perdamaian jangka panjang.
Namun, Hamas memberikan tanggapan keras mengenai tuntutan tersebut. Kepala negosiator Hamas, Khalil al-Hayya, pada hari Minggu (26/10) menyatakan bahwa senjata kelompoknya "terikat pada keberadaan pendudukan dan agresi."
"Jika pendudukan berakhir, senjata-senjata ini akan diserahkan kepada negara," kata al-Hayya.
Pernyataan ini segera memicu spekulasi mengenai otoritas mana yang dimaksud—apakah Otoritas Palestina yang diharapkan mengambil alih Gaza dari Hamas.
Tantangan ini menunjukkan jurang pemisah yang dalam: Israel menginginkan Hamas dilucuti senjata sekarang, sementara Hamas mengaitkan pelucutan senjata dengan berakhirnya pendudukan Israel.
Ketidakjelasan mengenai siapa yang akan mengelola Gaza dan siapa yang akan memegang kendali atas senjata militer di masa depan menjadi hambatan besar bagi tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.
Presiden Donald Trump, meskipun mengatakan gencatan senjata tidak akan terancam, mendukung tindakan Israel.
"Mereka membunuh seorang tentara Israel. Jadi Israel membalas. Dan mereka seharusnya membalas," komentarnya di Air Force One, memberikan indikasi dukungan AS terhadap respons militer Israel.
Intensifnya upaya diplomatik, seperti yang diungkapkan oleh Perdana Menteri Qatar, terus dilakukan untuk memastikan gencatan senjata tidak kolaps total. Namun, darah yang tumpah di Gaza kini membayangi setiap pembicaraan damai.(*)


