Tiga Kampung Adat di Jawa Barat Ini Masih Eksis, Jaga Tradisi dan Alam Hingga Kini
Karawang : Di tengah perkembangan zaman, sejumlah kampung adat di Jawa Barat tetap eksis dan teguh menjaga tradisi leluhur mereka.
Tiga di antaranya yang masih bertahan hingga kini adalah Kampung Kuta di Ciamis, Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, dan Kampung Naga di Tasikmalaya. Ketiganya memiliki keunikan masing-masing dalam menjalankan adat, menjaga alam, serta mempertahankan kearifan lokal.
1. Kampung Kuta
Di Kabupaten Ciamis, Kampung Kuta terkenal dengan aturan adatnya yang unik. Semua rumah di kampung ini wajib berbentuk persegi dan berbahan dasar alami seperti bambu, kayu, serta ijuk.
Tak hanya soal bangunan, kampung ini juga memiliki aturan adat dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya larangan memakai pakaian serba hitam. Tradisi lainnya adalah larangan memakamkan orang yang meninggal di dalam area kampung.
Selain itu, tempat keramat di kampung ini tidak boleh dikunjungi pada hari Senin dan Jumat. Kampung ini juga dikenal sebagai daerah penghasil gula aren, yang diproduksi oleh mayoritas warganya.
2. Kasepuhan Ciptagelar
Beralih ke Sukabumi, Kasepuhan Ciptagelar memiliki tradisi pertanian yang dijaga ketat, khususnya terkait panen padi. Setiap tahun, masyarakat Ciptagelar menggelar upacara adat bernama Seren Taun sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen.
Uniknya, setiap panen, warga menyisihkan 10 persen hasilnya untuk disimpan di lumbung padi yang disebut leuit. Hasil simpanan ini bukan untuk dijual, melainkan disimpan sebagai cadangan, bahkan ada padi yang telah berusia ratusan tahun.
Bagi masyarakat Ciptagelar, padi merupakan lambang kehidupan, sehingga menjual beras dianggap sama dengan menjual kehidupan itu sendiri.
Meskipun adat sangat dijaga, warga Ciptagelar tidak menolak kemajuan teknologi. Mereka bahkan memiliki siaran radio dan televisi lokal yang dibuat dan dikelola sendiri oleh warga.
3. Kampung Naga
Sementara itu, Kampung Naga di Tasikmalaya memilih hidup tanpa listrik demi menjaga kelestarian budaya. Meski tanpa listrik, warga tetap menjalani kehidupan yang mandiri, termasuk dalam hal pangan.
Mereka menyimpan hasil panen padi di gowah atau leuit, dan tidak pernah membeli beras karena kebutuhan dicukupi dari hasil panenan sendiri.
Kampung ini dikelilingi hutan keramat yang tidak boleh dimasuki sembarangan, sehingga alam tetap terjaga dan sakral. Bahkan untuk memasak, warga hanya menggunakan kayu bakar yang diambil dari kebun sendiri, bukan dari hutan yang dilarang untuk dieksploitasi.
Bagi mereka, kelestarian lingkungan adalah prinsip hidup yang tidak boleh dilanggar.
Ketiga kampung adat ini menunjukkan bahwa menjaga tradisi dan alam bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman, asalkan dilakukan dengan kesadaran dan rasa hormat terhadap warisan leluhur.
Keunikan masing-masing kampung menjadi cerminan bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat di tengah modernisasi.(*)