Kasus LPEI, KPK Sita Alphard dari Anggota DPR
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita mobil Toyota Alphard terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, mobilp tersebut milik perusahaan PT Sakti Mait Jaya Langit (PT SMJL).(1/8/25).
"Bahwa pada hari ini telah dilakukan penyitaan, satu unit mobil berjenis Alphard tahun 2023. Terkait perkara pemberian fasilitas pembiayaan dari LPEI," ujarnya, Kamis (31/7/2025).
Budi menuturkan, mobil tersebut dalam penguasaan Anggota DPR RI saat dilakukan penyitaan. "Pada saat disita, mobil tersebut dalam penguasaan salah seorang anggota DPR RI," ucapnya.
Namun, Budi tidak mengungkap identitas anggota DPR tersebut. "KPK tentunya akan mendalami mengapa mobil tersebut berada dalam penguasaan Ybs," kata dia.
Sebelumnya, KPK telah menahan dua tersangka terkait dugaan korupsi pemberian kredit dari LPEI ke PT Petro Energi (PE). Kedua orang itu masing-masing Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta.
KPK berjanji akan menersangkakan debitur (perusahaan lain) di kasus LPEI. Diketahui, KPK baru menetapkan lima orang tersangka, tiga dari PT Petro Energi dan dua dari LPEI.
"Sebanyak 10 debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyelidikan. Nantinya akan kita sampaikan juga kepada rekan-rekan jurnalis saatnya akan ditetapkan sebagai tersangka," kata Kasatgas KPK, Budi Sukmo, di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (4/3/2025).
KPK baru menetapkan lima orang tersangka terkait dugaan pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT Petro Energy (PT PE). Mereka ialah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.
Kemudian, Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal atau Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin. Serta, Direktur Utama PT PE Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta.
Terhadap para tersangka belum dilakukan penahanan. Teruntuk pemberian kredit kepada PT PE, KPK menyebut Negara mengalami kerugian sejumlah USD60 juta atau sekitar Rp1 Triliun.
Sementara itu, KPK juga sedang menyelidiki pemberian fasilitas kredit kepada 10 debitur lainnya. Untuk 11 debitur lainnya, ada potensi kerugian negara hingga mencapai Rp11,7 triliun.(*)