Berita Terbaru
Mode Gelap
Artikel teks besar

Kebijakan Wajib Militer KDM Menuai Pro Kontra dan Kritikan

 Bandung : Masyarakat Jawa Barat hari ini tengah ramai membicarakan kebijakan Wajib Militer bagi siswa nakal di Jawa Barat yang dikeluarkan oleh Dedi Mulyadi. Kebijakan tersebut menuai banyak pro kontra, tanggapan bahkan kritik dari berbagai pihak. (1/5/25).


Foto sebatas ilustrasi

Salah satunya kritik datang dari Pengamat Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan. Cecep mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan tidak seharusnya semua masalah langsung diserahkan kepada institusi lain. 

Terlebih kebijakan wajib militer yang akan diterapkan berseberangan dengan konsep pedagogi dalam pendidikan. Dimana seharusnya penyelesaian masalah serta pendidikan terhadap anak menyesuaikan dengan karakter serta kondisi permasalahan anak tersebut.

Sementara itu, dalam dunia militer setiap anggota atau peserta akan disamaratakan tanpa memandang karakter serta kondisi psikologis. Selain itu hal tersebut bersebrangan dengan output dari pendidikan di tingkat sekolah. 

Anak-anak yang disekolah dididik untuk berpikir sosial sebagai masyarakat sipil dan bukan untuk berpikir secara militer. Terlebih pola pikir yang ditanamkan di masyarakat sipil dengan dunia militer terlihat cukup berbeda. 

“Itu mau masuk militer, atau masuk pesantren? Jadi gini lah dalam dunia pendidikan, kalau ada masalah itu, tidak harus kemudian diserahkan kepada institusi lain dulu. Kan gini ya, orang anak nakal itu itu kan tidak bisa diseragamkan masalahnya kan bisa beda-beda dan TNI bukan obat segala masalah,” kata Cecep di Bandung, Selasa (29/4/2025). 

Selain itu, ia juga menyoroti Dedi Mulyadi yang tidak komprehensif dalam menjelaskan program yang dicanangkan ya kepada publik. Sehingga membuat publik multi tafsir dalam memahami kebijakan yang disampaikan olehnya. Menurutnya, Dedi Mulyadi mungkin tidak bermaksud untuk menerapkan konsep wajib militer, namun bermaksud untuk melakukan pendidikan karakter berbasis bela negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019. 

“Jadi ini walaupun niatnya mungkin baik ya, harus kita hargai lah Pak Dedi itu. Kalau saya konsepnya bukan pendidikan militer seperti Wamil tetapi pendidikan pendahuluan Bela Negara. Kalau pendidikan pendahuluan Bela Negara, memang itu amanat undang-undang ya, undang-undang tentang PSDN yaitu Pengembangan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, Nomor 23 tahun 2019,” ucap Cecep.

Foto ilustrasi saja

“Nah disitu dijelaskan ada pendidikan pendahuluan Bela Negara PPBN namanya nah, jadi mungkin itu maksudnya ke situ ya dugaan saya gitu. Jadi nanti levelnya bukan pendidikan militer kepada siswa tapi pendidikan pendahuluan Bela Negara seperti Menwa kalau di kampus,” sambung dia. 

Cecep mengungkapkan jika memang betul maksud dari kebijakan Dedi Mulyadi merupakan PPBN, dirinya akan sangat setuju jika program tersebut dilaksanakan sebagai sanksi bagi para siswa nakal di Jawa Barat.

“Jadi maksud mudah-mudahan yang disebut Pak Dedi itu gitu, kalau itu saya rasa dukung bukan 100% lagi tapi 1000%,” ungkap dia.

Ia juga menyarankan agar Dedi Mulyadi membuat konsep program tersebut secara matang sebelum diberlakukan. Menurutnya jika PPBN nantinya bakal diberlakukan, akan lebih baik jika hal itu diberlakukan bagi seluruh siswa dan bukan hanya bagi siswa nakal.

“Jadi bukan hanya untuk siswa nakal tapi untuk seluruh siswa jadi itu harus terprogram, dibuat roadmapnya grand designnya sampai kapan gitu, dan anak itu di boarding school nati diinapkan di mana ya, jadi nanti sekolah lagi, jadi nggak-gak selama 6 bulan full di situ bukan,” tandas dia.

Cecep juga menyarankan agar progam tersebut melibatkan seluruh unsur pembinaan seperti pembina kerohanian, TNI, pendidik, psikologi, Guru BP, pembina kesiswaan hingga pihak pemerintahan.

“Nah terus dibuat kurikulumnya, dan sesekali mungkin di sekolah kegiatannya, terus sekali di camp-camp militer, sesekali di luar gitu ya, kegunung kemana gitu, ada kurikulumnya. Dan tidak hanya TNI melibatkan misalnya ya kaum pendidik, terus spiritualnya dari, misalnya dari apa, tokoh-tokoh agama ya, dilibatkan di situ psikolog, guru BP, pembina osis dan lain-lain nya dilibatkan termasuk pemerintah gitu,” pungkas dia. 

Sebelumnya, kritik juga sempat datang dari berbagai kalangan masyarakat. Cecep, salah seorang warga Kota Bandung sekaligus orang tua siswa di salah satu sekolah menengah atas di Kota Bandung.

Cecep menilai, kebijakan wajib militer perlu dikaji lebih mendalam dan tidak boleh terburu-buru untuk diterapkan. Menurutnya, kebijakan itu menjadikan unsur-unsur pembinaan lainnya seperti Guru BP, wali kelas, orang tua serta unsur pembinaan lainnya terkesan gagal dalam mendidik para siswa.

“Saya juga sebetulnya kalau memang harus diterapkan secara menyeluruh juga. Jadi kayaknya efektivitas bagi pembinaan di tingkat-tingkat atau dinas-dinas atau dari pembinaan orang tua sendiri, jadi dianggap tidak sukses atau memang tidak berhasil, jadi image itu yang terbentuk,” kata Cecep.

Sebab, menurut Cecep, pendidikan sipil yang diterapkan di sekolah sangat berbeda dengan pembinaan yang diterapkan di militer. Hal itu juga harus menjadi pertimbangan terkait efektivitas dari wajib militer yang akan diberlakukan.

“Kalau dengan cara seperti begitu, berarti kan cara-cara lain yang sebelumnya, efektivitas yang sebelumnya seperti badan pembinaan sekolah ataupun badan-badan lainnya, itu dianggap tidak efektif, seolah-olah hilang, gitu,” tambah dia. 

“Karena memang kalau sudah di militer kan dengan berbagai disiplin dan karakter yang berbeda, itu dengan pendidikan-pendidikan atau dengan apa pembinaan-pembinaan yang sebelumnya kan. Karena maaf ya kalau di militer itu kalau putih-putih kalau merah-merah kalau hijau-hijau. Kalau pemimpin di masyarakat secara sosial nggak bisa begitu,” tandas dia.(*)
Tutup Iklan