Berita Terbaru
Mode Gelap
Artikel teks besar

Meski Panen Raya, Harga Beras Saat Ini Cenderung Tinggi

 Target pemerintah untuk menyerap beras hasil produksi petani dalam negeri melalui Perum BULOG tahun 2025 sebesar 3 juta ton, kini tengah berjalan. 

Foto ilustrasi beras bulog

Menurut Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), proses penyerapan itu menemui berbagai tantangan serius. Per 20 April 2025, Bulog baru mampu menyerap 1,27 juta ton setara beras.

Dia menjelaskan, sebanyak 80% dari angka tersebut berbentuk gabah, sisanya berupa beras. Pola ini berkebalikan dari penyerapan puluhan tahun sebelumnya, yang didominasi oleh beras.

“Penyerapan mayoritas berbentuk gabah itu hanya bisa terjadi apabila BULOG memiliki 'kaki dan tangan' yang langsung berhubungan dengan petani,” jelas Khudori, Senin (21/4/2025). 

Saat ini, lanjut Khudori, yang menjadi kaki dan tangan Bulog adalah aparat seperti Babinsa dan Bhabinkamtibmas di desa-desa. 

"Kehadiran mereka memperlancar hubungan antara petani dan BULOG, sehingga penyerapan gabah menjadi lebih efisien. Namun, efisiensi di lapangan tak selamanya bisa diikuti oleh kesiapan infrastruktur Bulog sendiri," jelasnya. 

Dia menuturkan, di sejumlah daerah, penyerapan bahkan sempat dihentikan karena keterbatasan kapasitas pengering (dryer).

Dampaknya pun meluas. Setidaknya lima pimpinan wilayah Bulog dicopot, diikuti beberapa kepala cabang, karena dinilai lamban menyerap gabah. 

“Ada tuduhan bahwa petani menunggu di sawah, tapi pegawai Bulog menanti di gudang,” ungkap Khudori. 

Sehingga, kata Khudori, petani pun ikut merugi, sebab harga gabah di beberapa daerah turun di bawah ketentuan Rp6.500/kg, akibat penyerapan yang tersendat.

Di sisi lain, stok beras di gudang Bulog menumpuk. Hingga 1 April 2025, jumlahnya mencapai 2,34 juta ton. Sebanyak 1,792 juta ton di antaranya merupakan sisa stok akhir tahun 2024 yang sebagian besar hasil impor. 

"Sekitar 436 ribu ton berusia 7–12 bulan, bahkan 55 ribu ton telah lebih dari setahun," imbuhnya. 

 Idealnya, menurut Khudori, beras hanya disimpan selama empat bulan untuk menjaga mutunya.

“Semakin lama disimpan, semakin besar biaya perawatan. Kalau ada beras rusak, apalagi ditemukan berkutu seperti yang terjadi di Yogyakarta Maret lalu, pasti gaduh,” tegasnya.

Ironisnya, beras-beras tersebut menumpuk bukan karena tidak ada kebutuhan, melainkan karena kebijakan yang belum tuntas. 

"Pemerintah menunda penyaluran bantuan pangan beras yang seharusnya dimulai awal tahun ini," ucapnya. 

Alasannya, produksi beras domestik dianggap melimpah. Namun menurut Khudori, perbandingan itu tidak sepenuhnya tepat.

“Produksi 3 bulan awal 2025 memang naik dibanding 2024, tapi itu tidak adil karena 2024 dilanda El Nino. Kalau dibandingkan dengan 2023 yang normal, produksi 2025 justru lebih rendah,” paparnya. 

Ia menyebut, produksi beras Januari 2025 hanya 1,24 juta ton dan Februari 2,23 juta ton, padahal konsumsi beras nasional sekitar 2,6 juta ton per bulan. Artinya, Januari-Februari tetap tergolong masa paceklik.

Program SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), yang menjadi salah satu outlet penting distribusi beras BULOG, juga ikut dihentikan. Padahal, pada awal Februari sempat tercatat penyaluran SPHP sebesar 6.287 ton per hari. 

“Biasanya, saat paceklik pasar ‘lapar’ beras. Tapi sekarang malah distop,” ujar Khudori.

Penghentian SPHP dan bantuan pangan membuat pasar sepenuhnya dikuasai oleh swasta. Akibatnya, warga miskin dan rentan kehilangan akses terhadap beras murah.

 “Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Padahal alasan penghentian karena produksi melimpah sangat tidak tepat,” tambahnya.

Target penyaluran SPHP tahun ini adalah 1,2 juta ton angka yang sama dengan rata-rata dua tahun terakhir. Pada 2023, lanjut dia, Bulog menyalurkan bantuan pangan beras sebesar 1,49 juta ton dan meningkat jadi 1,97 juta ton di 2024. Bantuan tersebut terbukti ampuh meredam gejolak harga dan menjaga stabilitas pasar.

“Dengan cakupan 21,35 juta keluarga, bantuan beras ini memengaruhi keseimbangan harga dari sisi permintaan dan penawaran. Permintaan pasar turun, harga jadi lebih terkendali, bahkan bisa menurun. Inflasi juga ikut stabil,” jelas Khudori.

Masalah mendasarnya, menurut Khudori, Bulog belum memiliki outlet tetap sejak program Raskin digantikan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai). 

"Raskin dulu menjadi saluran pasti, dengan distribusi antara 3–3,2 juta ton beras per tahun," tambahnya. 

Kini, outlet pengganti seperti SPHP dan bantuan pangan belum dijadikan sistem yang stabil dan berkelanjutan.

“Kalau beras cuma ditumpuk di gudang, buat apa produksinya besar? Apa gunanya buat rakyat?” jelasnya.  

Apalagi, harga beras medium dan premium tetap tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) meski sedang panen raya. 

"Presiden Prabowo Subianto sebenarnya telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2025 untuk mengatur pengadaan dan penyaluran beras. Inpres itu membuka outlet luas untuk CBP, termasuk SPHP, bantuan pangan, TNI/Polri/ASN, tanggap darurat, program makan bergizi gratis, hingga bantuan sosial," jelasnya.

Kendati demikian, ia menilai regulasi ini memerlukan aturan turunan agar implementasinya bisa efektif. 

"Integrasi kebijakan dari hulu ke hilir mutlak diperlukan. Supaya beras terus mengalir dari gudang dengan prinsip FIFO (first in first out), segar, tidak rusak,” tandas Khudori.(*)
Tutup Iklan