Karawang: Operasi besar-besaran polisi di Rio de Janeiro yang menewaskan 132 orang memicu kemarahan publik dan tuduhan penggunaan kekuatan berlebihan.(30/10/25).
Ratusan warga dari kawasan kumuh atau favela turun ke jalan, Rabu (29/10/2025), dilansir dari AP News.
Mereka meneriakkan “pembunuh” sambil mengibarkan bendera Brasil yang diwarnai merah sebagai simbol darah para korban. Protes itu terjadi sehari setelah operasi paling mematikan dalam sejarah Brasil.
Banyak korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dengan luka tembak di kepala, punggung, bahkan luka tusuk. Mahkamah Agung, jaksa, dan anggota parlemen meminta Gubernur Rio, Claudio Castro, untuk memberikan laporan lengkap terkait operasi tersebut.
Sejumlah warga menyebut insiden itu sebagai “pembantaian”. Sekretaris Polisi Negara Bagian Rio, Felipe Curi, menjelaskan bahwa sebagian jenazah ditemukan di area hutan dalam kondisi memakai kamuflase.
Ia juga menuduh sebagian warga mengubah kondisi mayat dan mengambil perlengkapan korban, yang kini diselidiki sebagai dugaan manipulasi barang bukti. Jumlah tersangka yang ditangkap dilaporkan meningkat menjadi 113 orang.
Sementara itu, sekitar 90 senapan dan lebih dari satu ton narkoba disita dari lokasi penggerebekan. Operasi yang melibatkan 2.500 polisi dan tentara itu diluncurkan menggunakan helikopter, kendaraan lapis baja, dan pasukan darat.
Operasi tersebut dilakukan untuk menyerang geng Red Command, yang dikenal menguasai sejumlah favela di Rio. Baku tembak sengit memicu kekacauan di berbagai wilayah kota.
Sekolah dan universitas ditutup, sementara jalan-jalan utama diblokade menggunakan bus sebagai barikade. Mahkamah Agung Brasil menjadwalkan pertemuan pekan depan dengan Gubernur Castro dan pimpinan kepolisian untuk meminta klarifikasi.
Komisi Hak Asasi Manusia Senat juga menuntut penjelasan dari pemerintah negara bagian. Jaksa meminta bukti bahwa tidak ada cara lain yang lebih aman untuk melaksanakan operasi.
Kejaksaan Federal memerintahkan agar semua hasil otopsi dilengkapi foto dan dokumentasi luka. Organisasi hak asasi manusia dan PBB mengecam keras jumlah korban yang sangat tinggi dan mendesak dilakukannya penyelidikan independen.(*)

