
ODHIV 2025 Diperkirakan Tembus 564 Ribu, Sebaran Kasus HIV Didominasi 11 Provinsi di Indonesia
0 menit baca
Jakarta: Sebaran kasus HIV di Indonesia menunjukkan konsentrasi tinggi di sejumlah wilayah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, sebanyak 76 persen dari total estimasi orang dengan HIV (ODHIV) di Tanah Air terkonsentrasi hanya di 11 provinsi.
Sebelas provinsi itu meliputi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara. Kemudian Bali, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau.
Temuan ini menjadi sorotan dalam upaya penguatan deteksi dini dan layanan pengobatan HIV. "ODHIV itu artinya orang yang pernah terinfeksi HIV, baik yang lama maupun yang baru, karena HIV itu seumur hidup," ujar Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini dalam temu media daring, Jumat (20/6/2025).
"Jadi estimasi ODHIV hidup di Indonesia tahun 2025 adalah 564 ribu orang. Itu yang harus kami temukan supaya mereka tahu statusnya."
Per Maret 2025, dari estimasi 564 ribu ODHIV, sekitar 356.638 atau 63 persen sudah ditemukan. Dari jumlah itu, 67 persen telah menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) dan 55 persen menunjukkan virus yang tersupresi.
"Artinya, 55 persen sudah berhasil menekan jumlah virus hingga ke titik di mana mereka tidak lagi menularkan. Tapi kami masih punya pekerjaan besar untuk menemukan sisanya," ujar Ina.
Ina mengatakan pihaknya tidak jarang menemui tantangan dan tidak jarang ada yang menghilang ketika ingin di follow-up. Hal ini menyebabkan ODHIV yang hidup dan tahu statusnya itu jadi belum ditemukan sebanyak 95 persen.
Kemenkes menargetkan pencapaian 95-95-95 di tahun 2030, yakni 95 persen ODHIV mengetahui statusnya. Kemudian 95 persen ODHIV menjalani pengobatan, dan 95 persen di antaranya berhasil menekan virus hingga tidak menular.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat sebanyak 356.638 orang dengan HIV (ODHIV) dari total estimasi 564 ribu ODHIV pada 2025. Direktur Penyakit Menular Kemenkes Ina Agustina Isturini menyebut, jumlah ini merupakan kumulatif hingga Maret 2025.
Ia mengatakan dari 356 ribu ODHIV tersebut sekitar 67 persen atau 239.819 orang sedang dalam pengobatan. Sedangkan sekitar 55 persen atau 132.575 virusnya tersupresi.
"Ini mulai dari penemuan kasusnya juga kita masih menjadi tantangan dan tidak jarang ada yang menghilang saat di-follow up. Ini menyebabkan ODHIV hidup dan tahu statusnya itu jadi tidak belum ditemukan 95 persen," kata Ina.
Padahal, menurutnya, untuk mengakhiri epidemi AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada 2030, ada target 95-95-95. Yakni, 95 ODHIV hidup mengetahui status penyakitnya.
Kemudian 95 persen diantaranya mengikuti pengobatan AntiRetroViral (ARV), dan 95 persen yang mengikuti pengobatan tersupresi virusnya. "Nah ini tersupresi itu artinya virus orang tersebut tidak menularkan lagi, walaupun virusnya masih ada," ujarnya.
Selain itu, ada juga target Three Zeroes. Yakni, nol infeksi baru, nol kematian akibat AIDS, dan nol stigma dan diskriminasi.
Ina mengatakan dari 356 ribuan ODHIV yang ditemukan, sebanyak 37 persen adalah populasi kunci seperti lelaki yang berhubungan seks dengan sesama lelaki (LSL). Berikutnya, Wanita Pekerja Sosial (WPS), pemakai narkoba suntik (penasun), serta waria atau transgender.
Kemudian 36,7 persen populasi umum populasi umum seperti orang dengan sistem imun rendah. Misalnya karena tuberkulosis, IMS, hepatitis, ibu hamil, dan warga binaan.
Sisanya, kata dia, 10,8 persen populasi khusus seperti calon pengantin, dan 15,3 populasi rentan. Yakni pelanggan pekerja seks, pasangan populasi kunci, dan anak yang ibunya punya HIV/AIDS.
Guna menemukan dan menangani lebih banyak ODHIV serta IMS, pemerintah Indonesia menggalakkan sejumlah upaya. Di antaranya, pencegahan, surveilans, penangangan kasus, serta promosi kesehatan.
Bagi publik, katanya, pencegahan formulanya adalah ABCDE. Yakni abstinence atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum waktunya, be faithful atau setia pada pasangan, kondom untuk mitigasi risiko.
"Kemudian no drugs; arena dia juga salah satu pintu masuk penularan, melalui jarum suntik. E adalah education," katanya. Ia lantas mengajak publik untuk tidak takut memeriksakan diri untuk kesehatannya.
Untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, pihaknya telah melatih tenaga kesehatan dan mengedukasi publik tentang cara memperlakukan pasien HIV dan IMS. Seperti tentang menjaga kerahasiaan dan privasi.
"HIV, IMS itu bukan masalah moral, tapi itu adalah masalah kesehatan. Seperti kita lihat tadi, itu bisa mengenai semua usia kok, dari 0 sampai lansia, dia bisa mengenai seluruh lapisan masyarakat," ucapnya.
"Ada, bisa populasi umum juga bisa, populasi yang mungkin. Artinya, semua itu adalah masalah kesehatan. Jadi, kita jangan menghakimi siapapun orangnya," ujar Ina.(*)