Zero Stunting Bukan Hal yang Mustahil
Sabtu, April 06, 2024
"Orang bilang tanah kita, tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Pada generasi tahun 70’ dan 80’ pasti familiar dengan lagu "Kolam Susu" yang dibawakan oleh grup musik legendaris Koes Ploes di atas.(6/4/24).
Lirik lagu tersebut menggambarkan betapa suburnya tanah kita, Indonesia.
Mungkin kita bisa membayangkan manakal batu kayu dan tongkat bisa tumbuh merupakan hiperbola yang cukup masuk akal.
Lagu ini selaras dengan satu ungkapan Jawa Gemah Ripah Loh Jinawi (kekayaan alam yang melimpah).
Baik lagu Kolam Susu atau ungkapan Jawa di atas hanya berupa fiksi yang merepresentasikan Indonesia, kita tahu bahwa itu imajinasi tentang tanah Indonesia yang luar biasa. Namun, luar biasanya tanah Indonesia adalah fakta yang benar adanya.
Ungkapan Gemah Ripah Loh Jinawi disandingkan dengan ungkapan lanjutan yaitu Toto Tentrem Karto Raharjo yang bermakna keadaan yang rukun tentram.
Idealnya, jika Indonesia negara dengan kekayaan alam yang melimpah, maka setidaknya warga negaranya harus memiliki kecukupan gizi yang baik, bukan?
Kita juga seharusnya tidak mendapati realita anak atau orang dengan kondisi mal nutrisi (stunting).
Pertanyaannya, masihkah ungkapan Jawa tersebut relevan dengan Indonesia kini?
Menurut WHO (World Health Organization), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang indikasinya berupa panjang atau tinggi badan balita di bawah standar. Kondisi ini akan memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup diantaranya sakit kronis dan melemahkan tingkat kecerdasan (kemkes.go.id).
Indonesia, negara kepulauan yang memiliki 34 provinsi, ternyata keseluruhannya memiliki angka stunting yang cukup mengkhawatirkan.
Mengutip dari nasionaltempo.co (25/1/2023), provinsi dengan prevalensi angka stunting tertinggi diantaranya Nusa Tenggara Timur (37,8%), Sulawesi Barat (33,8%), Nusa Tenggara Barat (31,4%), Sulawesi Tenggara (30,2%), Kalimantan Selatan (30%). Lima pronvinsi ini masuk pada zona merah. Terdapat pula 14 provinsi lainnya yang berada di bawah 20% dan masuk kategori zona kuning.
Data lain yang tidak kalah mengkhwatirkan adalah kasus stunting terbesar di Indonesia diperoleh Jawa Barat sebanyak 971.792 kasus. Kemudian diikuti oleh Jawa Timur 651.708 kasus, Jawa Tengah 508.618 kasus, Sumatera Utara 347.437 kasus dan Banten 265.158 kasus.
Fakta ini jelas menjadi perhatian pemerintah, bahkan dari semenjak dulu. Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk memformulasikan satu regulasi guna menurunkan angka prevalensi.
Regulasi ini dirumuskan ke dalam 8 aksi, harapannya tahun 2024 angka prevalensi stunting turun menjadi 14%.
Apa kabar Jawa Barat yang berada di peringkat pertama kasus stunting?
Jika kita menelusur angka stunting dua tahun ke belakang, Jawa Barat memiliki wilayah kabupaten dan kota yang masih harus diturunkan prevalensi stunting-nya. Jumlahnya pun cukup banyak.
Tahun 2022 saja, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyatakan ada sekitar empat kabupaten dan kota yang masuk zona merah stunting di provinsi Jawa Barat yaitu Cirebon, Kab. Garut, Kab. Cianjur dan Kab. Bandung. Sebanyak 14 Kabupaten dan Kota yang masuk ke dalam zona kuning. Salah satu diantanya adalah Karawang. (sinarjabar.com/12-03-2022).
Kabar teranyar, Pemerintah Kabupaten Karawang mendapat apresiasi dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) karena telah melaksanakan penangan penurunan angka stunting dengan baik di tahun 2023. Ini prestasi yang patut diacungi jempol.
Iin Afriani selaku analis kesehatan Kemendagri, menyampaikan 8 aksi konvergensi stunting di Karawang sudah berjalan sangat baik meskipun masih ada PR berupa belum maksimalnya aksi ke-8 yang ditargetkan akhir Februasi 2024 selesai sehingga harus dievaluasi secara teknis (tvberita.co.id/24-02-2024).
Delapan program konvergensi stunting merupakan instrument berbentuk kegiatan sebagai upaya meningkatkan intervensi gizi untuk anak-anak stunting. Secara teknis program ini terdiri dari; identifikasi, penyusunan rencana, menyelenggarakan rembuk stunting, memberikan kepastian hukum, ketersediaan kader stunting, meningkatkan pengelolaan data, pengukuran tinggi badan dan terakhir review kinerja.
Apresiasi terhadap Pemerintah kabupaten Karawang bukanlah tanpa sebab, menukil dari karawangkab.go.id, delapan program aksi itu berhasil menurunkan angka stunting dari 20,6 % menjadi 14%. Untuk mencaai target tahun 2024, angka stunting turun hingga 8%, Pemkab Karawang menginisiasi pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting dengan program BAAS (Bapak Asuh Anak Stunting).
Program ini juga didanai sebesar 76 juta/bulan untuk 30 kecamatan di Karawang. Bagaimana dengan kota atau kabupaten lain? Bisa jadi gambaran teknisnya juga sama.
Zona Kuning Stunting
Negara sekaya Indonesia nyatanya setengah dari provinsinya berada di zona kuning stunting. Artinya semua kalangan masih harus bekerja keras untuk memindahkan diri dari zona kuning ke zona biru.
Di tengah capaian penurunan angka stunting tahun ini malah beriringan dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang justru banyak dikeluhkan masyarakat.
Jika angka stunting turun seharusnya berbanding lurus dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses bahan pokok.
Bukankah stunting merupakan tolak ukur menurunnya kualitas dan kuantitas yang bisa diperoleh seorang anak untuk pemenuhan pangannya?
Menelisik delapan program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menurukan angka stunting sebetulya bagus.
Hanya saja, tentu ini adalah solusi yang hanya fokus di area hilir. Sedangkan area hulu yang notabene permasalahan dasar belum menjadi perhatian utama.
Pemerintah seyogyanya menyelesaikan akar pesoalan hulu terlebih dahulu. Salah satu diantaranya mafia dalam penyediaan dan distribusi kebutuhan pokok dari produsen ke masyarakat. Kemudian terkait pengelolaan sumber daya alam yang masih didominasi oleh swasta. Sehingga, kemaslahatan tidak diakses oleh masyarakat dengan maksimal.
Walau bagaimanapun peroalan stunting hanya berupa persoalan ujung yang muncul akibat lengahnya alur pengelolaan terhadap akses kebutuhan dasar masyarakat.
Jika mekanisme yang berfokus pada Kapitalisme masih dipakai maka jangan heran jika persoalan stunting pun akan sulit mencapai zero stunting.
Mampukah Mencapai Zero Stunting?
Zero stunting tentu bukan hal mustahil untuk dicapai, program dan kebijakan penurunan angka stunting dapat efektif melalui sistem yang benar (Islam).
Islam sebuah mekanisme hidup yang mewajibkan negara membenahi dan memastikan kondisi dari hulu hingga hilir akan memberikan kemaslahatan bagi warga negaranya.
Stunting harus diselesaikan dengan kebijakan sistemik untuk area Hulu dan hilir. Solusi ini harus menyasar pada dua aspek yaitu internal dan eksternal.
Aspek internal bisa berupa edukasi tentang gizi seimbang pola hidup sehat dan bersih. Sedangkan aspek eksternal yaitu peranan negara dalam menopang terwujudnya edukasi dan pola hidup sehat dan bersih.
Negara memiliki peran sentral. Pemahaman gizi yang baik tidak akan menjadi kesadaran umum jika tidak dilakukan sosialisasi edukasi dengan masif oleh negara sendiri.
Agar pemahaman ini tidak sekedar teori belaka, maka negara pun harus memastikan akses terhadap lapangan pekerjaan harus mudah dalam rangka membantu pemenuhan nafkah.
Hal lainnya adalah segala kebutuhan dasar berupa akses kesehatan, pendidikan dan kebutuhan makanan pokok bisa dijangkau.
Islam juga memiliki strategi praktis yaitu pengelolaan zakat (mal dan fitrah). Pengelolaan zakat di era Islam dulu menjadi cara yang pas pada saat mengurusi Masyarakat dengan akses kebutuhan pokok yang rendah. Selain itu, pemerataan kesejahteraan harus dilakukan tanpa memandang subur tidaknya satu wilayah. Seluruhnya akan dikembangkan sesuai kebutuhan warganya.
Inilah Islam dengan segala aturan yang terpancar darinya. Islam memposisikan pemangku kebijakan sebagai ra’in atas seluruh warga yang berada dibawah tanggungjawabnya.
Sebagaimana termaktub dalam nash syara.
“Sesungguhnya imam adalah ra’in” (HR. Bukhori).
Wallahu'alam.
Oleh: Tati Sunarti, S.S
Pengajar Bahasa Inggris di Karawang